Seorang balita yang menderita gizi buruk.
Seorang balita yang menderita gizi buruk. (sumber: Jakarta Globe)
Selain otonomi daerah yang dianggap gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, faktor geografis dan ekonomi juga berperan dalam tingginya angka kematian balita di Indonesia.

Otonomi daerah dicap gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kesehatan. 

Kegagalan ini mengakibatkan tingginya angka kematian balita di Indonesia. 

Menurut World Vision, angka kematian balita di Indonesia sama dengan negara Bangladesh yang jauh lebih miskin dari Indonesia.
 
"Di berbagai negara permasalahannya hampir sama yaitu faktor  kepemimpinan, pengalokasian pendanaan dan kebijakan, seperti otonomi daerah dan penempatan tenaga kesehatan," kata Campaign Director World Vision, Asteria Aritonang, Kamis (08/11).
 
Ia mengatakan sistem desentralisasi dan otonomi tidak boleh dijadikan alasan pemerintah pusat atas kegagalan program-program  kesehatan yang berakibat tingginya angka balita yang meninggal.
 
Menurutnya sangat disayangkan Indonesia yang pendapatan perkapitanya sudah cukup tinggi yaitu 3000 dolar AS, angka kematian balitanya sama dengan  negara miskin seperti Bangladesh yang pendapatan perkapitanya hanya 700 dolar AS.
 
"Masa Indonesia yang pendapatan perkapitanya hampir lima kali lipat dibanding Bangladesh angka kematian balitanya sama, seharusnya jauh  lebih rendah," kata Asteria.
 
Laporan aktual Countdown to 2015 yang disusun berbagai lembaga dunia menyebutkan di tahun 2011 ada 134 ribu balita yang meninggal di Indonesia.
 
Angka itu juga hampir sama dengan Afganistan dan Ethiopia yang pendapatan perkapitanya bahkan lebih rendah daripada Bangladesh.
 
Menurut Asteria, faktor geografis dan ekonomi juga berperan dalam tingginya angka kematian balita, tapi jika faktor kepemimpinan kuat dan  bisa tetap mengarahkan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang  tepat, kematian balita di Indonesia pasti akan berkurang.
 
"Justru dengan sistem otonomi daerah seharusnya hasilnya lebih baik, karena ruang lingkup yang lebih spesifik, dan pemerintah daerah tahu konsep daerah serta jenis kebijakan seperti apa yang paling cocok dengan  daerahnya," ungkap Asteria.
 
"Jika memang pemimpinnya pro rakyat maka pasti dia akan melakukan yang terbaik," katanya.
 
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian  Kesehatan, Slamet Riyadi Yuwono, mengatakan sistem otonomi memang  terkadang menyulitkan pemerintah pusat untuk menjalankan program  kesehatan.
 
"Sekarang kita tidak punya kantor wilayah kesehatan, adanya dinas  kesehatan yang berada di bawah kendali gubernur dan bupati," katanya.
 
Dengan sistem otonomi, Kepala Daerah bisa mengganti tenaga kesehatan  atau kader yang sudah dilatih Kemenkes kapan saja sehingga terkadang  kesinambungan program terganggu.


Sumber : http://www.beritasatu.com/kesehatan/82005-angka-kematian-balita-di-indonesia-sama-dengan-bangladesh.html