Sabtu, 05 Mei 2012

Hubungan Keluarga Berencana Dengan Pencegahan Kematian Maternal Dan Neonatal

Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan di masyarakat. Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Anak (AKA), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (AHH) telah ditetapkan sebagai indikator derajat kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2003). AHH bahkan digunakan sebagai salah satu komponen untuk menghitung Human Development Index (HDI) (UNDP, 2001). Ditinjau dari HDI, Indonesia menduduki ranking 109 dari 174 negara (UNDP, 2000), jauh tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya. Ranking ini relatif tak beranjak, bahkan cenderung lebih buruk (tahun 2003 urutan 112 dari 175 negara). Sementara itu, AKI dan AKA Indonesia juga menduduki urutan yang tak dapat dibanggakan. 


Data menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 461 per 100.000 kelahiran hidup, dan juga Angka Kematian Balita (AKB) yaitu 42 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan kecenderungan angka-angka tersebut, akan sulit dicapai target MDG tahun 2015. Penurunan AKI hanya mencapai 52% dari keadaan tahun 1990 dari target 75% dan penurunan AKB mencapai 53% dari target 67%. Dari penilaian sistem kesehatan berbagai Negara, Indonesia menempati urutan 106 dari 191 negara yang dinilai untuk indikator pencapaian yang mencakup status kesehatan dan tingkat tanggapan (responsiveness).

Kajian AKI dan AKA dalam kaitan dengan KB didekati dengan merujuk berbagai kerangka konsep analisis yang diadaptasi disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Indonesia. Tiga kerangka konsep analisis diadaptasi dari kerangka analisis Mosley dan Chen (1984), McCarthy and Maine (1992), dan Kerangka Pikir Sistem Kesehatan Nasional. Tren AKI belum menggembirakan. Masih tingginya dan kurang cepatnya penurunan AKI dapat terjadi karena berbagai hal. Pertama, memang kondisi kesehatan untuk kelompok resti (bumil, bulin, dan bufas) masih jelek. Kedua, pertambahan relatif penduduk memasuki usia subur lebih besar daripada pertambahan relative kelahiran. Ketiga, mungkin penanganan kesehatan maternal belum optimal. Dari sisi geografis, provinsi di kawasan Indonesia Timur relatif memiliki AKI lebih tinggi.

Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB), trennya semakin menurun, dari 142 per 1.000 kelahiran hidup tahun 1967, menjadi 42 per 1.000 tahun 2000, kemudian SDKI 2002-2003 sebesar 35 per 1.000, namun dari metode perhitungan tidak langsung, AKB tahun 2003 tetap 43 per 1.000 kelahiran hidup. Di antara 10 negara ASEAN, AKB Indonesia menempati peringkat ke-7, sebelum Kamboja, Laos, dan Myanmar. Tidak ada pola geografis untuk AKB di Indonesia. Kawasan Indonesia barat maupun timur menyumbang kontribusi yang sama besar.

Sementara itu, Angka Kematian Neonatal (AKN) pada bayi usia dibawah 1 bulan , dan Angka Kematian Post Neonatal (AKPN) pada bayi usia 1-11 bulan, tren cenderung menurun. SDKI 1994 melaporkan AKN 30 per 1.000 kelahiran hidup, dan AKPN 27 per 1.000, turun menjadi AKN 20 per 1.000 dan AKPN 15 per 1.000 menurut SDKI 2002-2003. Dengan kata lain, selama kurun 8 tahun, rata-rata penurunan AKN per tahun 5%, sedangkan penurunan AKPN per tahun adalah 7%. Kontribusi Kematian Neonatal terhadap kematian bayi (AKB) lebih besar daripada kontribusi Kematian Post Neonatal. AKN dominant disebabkan oleh gangguan perinatal (34%), sedangkan AKPN dominant disebabkan lahir premature dan BBLR (29%). AKB di pedesaan 1,6 kali lebih tinggi daripada AKB di perkotaan. Makin miskin rumah tangga, makin tinggi AKB dan pola ini terus konsisten hingga kini.

Faktor langsung penyebab tingginya AKI adalah perdarahan (45%), terutama perdarahan post partum. Selain itu adalah keracunan kehamilan (24%), infeksi (11%), dan partus lama/macet (7%). Komplikasi obstetrik umumnya terjadi pada waktu persalinan, yang waktunya pendek yaitu sekitar 8 jam. Menurut WHO (2000), 81% AKI akibat komplikasi selama hamil dan bersakin, dan 25% selama masa post partum.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi AKB, menurut UNICEF (2001), menurunnya kualitas hidup anak pada usia 3 tahun pertama hidupnya adalah: gizi buruk, ibu sering sakit, status kesehatan buruk, kemiskinan, dan diskriminasi gender. Bayi dengan gizi buruk mempunyai resiko 2 kali meninggal dalam 12 bulan pertama hidupnya. AKI dan AKB tidak berkorelasi langsung dengan kejadiab infeksi atau parasit, kecuali pada beberapa daerah yang endemik malaria.

Kaitan antara AKB dan AKI dengan Keluarga Berencana adalah pada isu status reproduksi seperti dinyatakan pada diagram kerangka konsep. Beberapa kajian menunjukkan keadaan “4 Terlalu” yaitu: keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan terlampau dekat. Kondisi ini erat terkait dengan tingginya tingkat kesakitan dan kematian ibu dan anak (Depkes, 2004:41). Sebagai ilustrasi, 25% proporsi ibu di Indonesia dengan paritas di atas 3. Hasil regresi menunjukkan, hubungan positif antara jumlah paritas dengan AKI.

Terkait AKB, satu faktor penting adalah umur ibu dibawah 20 tahun meningkatkan resiko kematia neonatal, serta usia ibu di atas 35 tahun meningkatkan resiko kematian perinatal (Litbangkes, 1994). Odds Ratio AKB dari ibu usia di bawah 20 tahun sebesar 1,4 kali lebih tinggi dari AKB pada ibu usia 20-35 tahun. Untuk mencegah semakin parahnya “4T” tersebut, dilaksanakan program KB di daerah-daerah. Kesertaan KB umumnya sudah tinggi. Persentase kesertaan KB umumnya pada kisaran 60-70%. Alat kontrasepsi yang paling popular umumnya adalah pil dan suntik.

Namun studi kualitatif menunjukkan bahwa ketika daya beli alat kontrasepsi sebagian masyarakat rendah, menyebabkan ketidakmampuan ibu-ibu mengatur jarak dan jumlah kelahiran anaknya. Khusus di pedesaan, keinginan mengatur jumlah anak sudah ada, tetapi sebagian besar masih pada tingkat keinginan dan belum dalam praktek. Penyebabnya, karena terbatasnya akses mereka terhadap pelayanan KB, rendahnya kemampuan ekonomi, atau kurangnya independensi ibu (pada banyak kasus, menjadi akseptor KB adalah berdasarkan keputusan suami). Kendala akses pada pelayanan KB akan meningkatkan pula kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan bahkan aborsi illegal (Azwar, 2003).

Terdapat 3 syarat kondisi upaya kesehatan yang harus dipenuhi, yaitu: manajemen kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi manajemen, perencanaan program harus kontinu, bukan berbasis proyek yang hanya jangka pendek dan tidak sustained. Akurasi data menjadi kunci penting bagi perencanaan. Priority setting adalah keahlian yang harus dimiliki para perencana. Tidak ketinggalan, fungsi manajemen (sampai monitoring evaluasi) harus dijalankan dengan cermat dan tepat.

Terkait pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, sarana, prasarana (contohnya alat kontrasepsi) menjadi syarat penting. Program juga harus didukung mekanisme yang memadai dan efektif mencapai lapisan terbawah. Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat, partisipasi masayarakat harus digalakkan kembali. Pemanfaatan Posyandu oleh balita menurun drastis sejak krismon tahun 1997 (Depkes, 2004:83). Peran swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan dalam menurunkan AKI dan AKB harus digalang, diorganisir dengan baik, dan dimobilisasi secara efektif.

Ketiga syarat tersebut dapat diupayakan melalui pemantapan kebijakan nasional. Kebijakan yang sudah ada dan bersifat makro, menjadi payung untuk kebijakan teknis di bawahnya. Kebijakan yang tersosialisasi dengan baik, akan menumbuhkan komitmen yang tinggi dari para stakeholders, baik dari segi program maupun pendanaan. Dan semua itu memerlukan strategi advokasi yang sesuai.

Sumber : http://www.ilmukesehatan.com/324/hubungan-keluarga-berencana-dengan-pencegahan-kematian-maternal-dan-neonatal.html

24 INDIKATOR KESEHATAN DALAM IPKM

 Salah satu indikator penting dalam pembangunan adalah Human Development Index (HDI)/ Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari indeks ekonomi (pendapatan riil per kapita), indeks pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah), dan indeks kesehatan (umur harapan hidup waktu lahir).

Untuk menentukan peringkat kabupaten/kota dalam pembangunan kesehatan disusunlah Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yaitu indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan, dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan Survei Potensi Desa (Podes).


Ada 24 indikator kesehatan yang digunakan dalam IPKM dengan nilai korelasi UHH yang tertinggi. Indikator kesehatan tersebut adalah 
  1. prevalensi balita gizi buruk dan kurang, 
  2. prevalensi balita sangat pendek dan pendek,
  3. prevalensi balita sangat kurus dan kurus, 
  4. prevalensi balita gemuk, 
  5. prevalensi diare, 
  6. prevalensi pnemonia,
  7. prevalensi hipertensi,
  8. prevalensi gangguan mental,
  9. prevalensi asma, 
  10. prevalensi penyakit gigi dan mulut, 
  11. prevalensi disabilitas, 
  12. prevalensi cedera, 
  13. prevalensi penyakit sendi, 
  14. prevalensi ISPA, 
  15. proporsi perilaku cuci tangan, 
  16. proporsi merokok tiap hari, 
  17. akses air bersih, 
  18. akses sanitasi, 
  19. cakupan persalinan oleh nakes, 
  20. cakupan pemeriksaan neonatal-1, 
  21. cakupan imunisasi lengkap, 
  22. cakupan penimbangan balita, 
  23. ratio Dokter/Puskesmas, dan
  24. ratio bidan/desa.
Demikian paparan Dr. dr. Trihono, M.Sc Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) saat temu media, Jum’at, 26 November 2010, di Jakarta. Hadir dalam kesempatan tersebut Prof. Purnawan Junadi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI).
Selain menentukan peringkat pembangunan kesehatan kab/kota, IPKM dapat menjadi acuan pemerintah daerah (Pemda) membuat program intervensi yang lebih tepat, bahan advokasi ke Pemda agar terpacu menaikkan peringkat kesehatannya, perumusan daerah bermasalah kesehatan berat/khusus (DBKBK), dasar penentuan alokasi dana bantuan kesehatan dari pusat ke daerah, dan membantu Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KMPDT) dalam membangun kab/kota.
Berdasar hasil Riskesdas 2007, dari 440 kabupaten/kota diperoleh peringkat masing-masing kota dan kabupaten dengan tingkat kesehatan terbaik hingga terburuk. Hasil IPKM terlihat nilai terendah atau tingkat kesehatannya buruk adalah daerah Pegunungan Bintang, Papua (0,247059) dan tertinggi adalah Kota Magelang, Jateng (0,708959).
Kabupaten/kota mempunyai masalah kesehatan yang berbeda, bergantung kepada keadaan 24 indikator kesehatan yang masuk dalam IPKM. Seperti perbedaan IPKM antara Kab. Gianyar dan Manggarai, dimana peringkat IPKM Kab. Gianyar lebih baik dibanding Manggarai, namun perilaku cuci tangan lebih banyak di Kab. Manggarai dibanding Kab. Gianyar. Begitu pula kasus diare di Kab. Gianyar pun lebih banyak dibanding Kab. Manggarai.
Berdasar perhitungan rata-rata nilai, diperoleh batas bawah/normal IPKM yaitu 0,415987 dan daerah dengan nilai dibawah normal dikategorikan sebagai daerah bermasalah kesehatan berat/khusus (DBKBK). Ada beberapa kabupaten yang berada di bawah normal atau termasuk DBKBK, tapi tidak ada satu kota pun dibawah normal.
Kesehatan berhubungan erat dengan kemiskinan. Secara keseluruhan IPKM juga berhubungan dengan proporsi penduduk miskin per kab/kota. Namun tidak semua kab/kota yang miskin berada pada peringkat kesehatan yang buruk, begitu pula sebaliknya. IPKM kota tidak berhubungan dengan kemiskinan dan tidak termasuk daerah tertinggal.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Pusat Tanggap dan Respon Cepat (PTRC): 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@depkes.go.id, ontak@depkes.go.id.

Sumber : http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1337-24-indikator-kesehatan-dalam-ipkm.html

Jaminan Kesehatan Sentuh 60 Persen Penduduk Indonesia

 Minggu, 22 April 2012 22:33 WIB


BANJARMASIN--MICOM: Sekitar 60 persen penduduk Indonesia  saat ini terlayani oleh jaminan kesehatan masyarakat baik yang masuk anggota Jamkesmas, Askes, Jamsostek, dan jaminan kesehatan lainnya.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali Situmorang di Banjarmasin, Minggu, mengatakan, untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pemerintah akan segera meluncurkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Melalui BPJS yang akan dimulai pada 1 Januari 2014 tersebut, diharapkan pelayanan kesehatan akan mampu menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, baik itu pekerja hingga rakyat miskin. "Pada 2014 nanti kita harapkan sekitar 80 persen warga Indonesia telahterlayani jaminan kesehatan," katanya.

Hal tersebut, kata dia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Saat ini, pemerintah sudah merampungkan 80 persen peraturan presiden dan peraturan lainnya. "Dengan adanya BPJS masyarakat akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya tanpa ada perbedaan baik di rumah sakit swasta maupun pemerintah," katanya.

Bahkan, kata dia, masyarakatpun bisa mendapatkan pelayanan secara maksimal dan gratis di klinik maupun dokter umum yang ditunjuk atau terdaftar dalam BPJS.

Melalui BPJS tersebut, pegawai negeri maupun swasta akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal hanya dengan membayar satu premi saja, tanpa memandang apakah dia anggota Askes, Jamsostek maupun lainnya.

"Kalau saat ini standar pelayanan masing-masing lembaga penjaminan kesehatan dan sosial berbeda-beda, kedepan sudah menjadi satu," katanya.

Begitu juga dengan masyarakat miskin, yang preminya bakal dibayarkan pemerintah juga akan mendapatkan pelayanan yang sama di seluruh rumah sakit pemerintah maupun swasta yang ditunjuk.

Jenis penyakit yang dilayani, kata Chazali, juga hampir seluruh jenis penyakit, termasuk penyakit kanker dan jenis-jenis penyakit yang memerlukan biaya besar.

"Kita akan memberikan biaya pengobatan sampai pasien penderita kanker atau lainnya sembuh berdasarkan analisa medis," katanya.

Pemerintah, kata dia, akan membayar kepada pihak ketiga, maksimal dua minggu setelah yang bersangkutan di rawat, sehingga keterlambatan pembayaran klaim sebagaimana sering terjadi kedepan tidak akan terulang.

Saat ini, tambah Chazali, pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait pelaksanaan BPJS tersebut, sehingga bisa dipahami oleh masyarakat dan lembaga terkait lainnya. (Ant/OL-2) 

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/22/314786/293/14/Jaminan-Kesehatan-Sentuh-60-Persen-Penduduk-Indonesia

Peningkatan Keasaman Laut dapat Menulikan Lumba-lumba

Dewasa ini sangat banyak kegiatan manusia yang menyebabkan polusi udara, tanah dan air, yang disebabkan oleh limbah pabrik, industri, asap kendaraan, dan banyak lagi. Salah satu contoh adalah semakin banyak karbon dioksida memasuki atmosfer bumi, maka karbondioksida yang kita hasilkan sehari-hari dapat menyebabkan hujan asam dan juga meningkatkan kadar keasaman laut menjadi lebih asam. Pada kenyataannya, peningkatan keasaman telah disalahkan untuk segala sesuatu dari membunuh karang yang membantu ganggang dan bahkan membantu ukuran kekuatan tulang telinga ikan. Tapi perubahan kimia laut juga dapat mengubah penyerapan bunyi dalam ekosistem laut, menurut Koran  yang diterbitkan secara online hari minggu dalam laporan natrure geoscience ( Scientific American is part of Nature Publishing Group),bahwa perubahan kimia laut yang membuat lebih banyak keributan untuk binatang-binatang yang bergantung pada bunyi untuk menelusuri kedalaman air.


Saat ini yang paling diperdebatkan adalah kurangnya klasifikasi para peneliti terhadap dampak negative peningkatan keasaman laut, yang dipimpin oleh Tatiana Ilyina School of Ocean dan Bumi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Universitas Hawaii di Honolulu, menulis. “Namun, yang kurang diperhatikan dari peningkatan keasaman air laut adalah efeknya pada penyerapan bunyi di bawah laut. Ketika air laut menjadi lebih asam berkat sebagian besar yang dihasilkan oleh manusia adalah konsentrasi karbondioksida dari bahan kimia-bahan kimia penyerap suara (seperti peluruhan magnesium sulfat{MgSO4} dan asam borat{H3BO3}), maksudnya suara, terutama frekuensi rendah bergemuruh (hingga 5.000 hertz) , dengan jarak tempuh  lebih jauh.

Dengan Menggunakan karbon dioksida model output dan lautan di dunia, para peneliti menemukan bahwa penyerapan suara bisa jatuh oleh sekitar 60 persen pada lintang tinggi dan kedalaman air dalam tiga abad berikutnya. Menambahkan frekwensi suara yang r lebih rendah dari kegiatan kelautan manusia, seperti konstruksi, perkapalan dan sonar, dan anda akan benar-benar mendapatkan hiruk pikuk keributan bagi banyak penghuni dalam laut.

Para penulis di Negara-negara barat menyimpulkan, “Mereka memperkirakan bahwa selama abad kedua puluh satu, kimia penyerapan suara dalam rentang frekuensi ini [100-10 hertz] akan hampir membagi dua di beberapa daerah yang mengalami gangguan signifikan terpancar dari kegiatan industri,”. Beberapa keributan pada frekwensi rendah disebabkan secara alami oleh ombak dan hujan di permukaan laut dan juga oleh hewan itu sendiri.” Namun, para penlis mencatat, “tingkat ketinggian suara pada frekuensi rendah memiliki sejumlah perilaku dan efek biologis pada kehidupan laut, termasuk kerusakan jaringan, massa dari cetacean (sejenis mamalia / paus dan lumba-lumba) terdampar dan kehilangan pendengaran sementara pada lumba-lumba.

Tentu saja peningkatan perambatan suara juga membantu ketajaman aural beberapa binatang. Seperti mengirimkan rambatan komunikasi paus lebih jauh dari pada sekarang. .Ada bukti bahwa, spesies laut harus disesuaikan dengan berbagai tingkat kebisingan, tetapi konsekuensi dari peningkatan jangka panjang transmisi suara dalam frekuensi yang penting bagi banyak mamalia laut tidak diketahui.

Sumber : http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/peningkatan-keasaman-laut-dapat-menulikan-lumba-lumba/

Sumber bahaya yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja

Beberapa sumber bahaya yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dapat dikategorikan sebagai berikut:

Bahan Kimia

Meliputi bahan mudah terbakar, bersifat racun, korosif, tidak stabil, sangat reaktif, dan gas yang berbahaya. Penggunaan senyawa yang bersifat karsinogenik dalam industri maupun laboratorium merupakan problem yang signifikan, baik karena sifatnya yang berbahaya maupun cara yang ditempuh dalam penanganannya. Beberapa langkah yang harus ditempuh dalam penanganan bahan kimia berbahaya meliputi manajemen, cara pengatasan, penyimpanan dan pelabelan, keselamatan di laboratorium, pengendalian dan pengontrolan tempat kerja, dekontaminasi, disposal, prosedur keadaan darurat, kesehatan pribadi para pekerja, dan pelatihan. Bahan kimia dapat menyebabkan kecelakaan melalui pernafasan (seperti gas beracun), serapaan pada  kulit (cairan), atau bahkan tertelan melalui mulut untuk padatan dan cairan.

        Bahan kimia berbahaya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yaitu, bahan kimia yang eksplosif (oksidator, logam aktif, hidrida, alkil logam, senyawa tidak stabil secara termodinamika, gas yang mudah terbakar, dan uap yang mudah terbakar). Bahan kimia yang korosif (asam anorganik kuat, asam anorganik lemah, asam organik kuat, asam organik lemah, alkil kuat, pengoksidasi, pelarut organik). Bahan kimia yang merusak paru-paru (asbes), bahan kimia beracun, dan bahan kimia karsinogenik (memicu pertumbuhan sel kanker), dan teratogenik.

Bahan-bahan Biologis

Bakteri, jamur, virus, dan parasit merupakan bahan-bahan biologis yang sering digunakan dalam industri maupun dalam skala laboratorium. Pada golongan ini bukan hanya organisme saja, tetapi juga semua bahan biokimia, termasuk di dalamnya gula sederhana, asam amino, dan substrat yang digunakan dalam proses industri. Penanganan dalam penyimpanan, proses, maupun pembuangan bahan biologis ini perlu mendapatkan ketelitian dan kehati-hatian, mengingat gangguan kontaminasi akibat organisme dapat menyebabkan kerusakan sel-sel tubuh yang serius pada karyawan atau tenaga kerja.

Aliran Listrik

Penggunaan peralatan dengan daya yang besar akan memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan kerja. Beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain:
  1. Pemakaian safety switches yang dapat memutus arus listrik jika penggunaan melebihi limit/batas yang ditetapkan oleh alat.
  2. Improvisasi terhadap peralatan listrik harus memperhatikan standar keamanan dari peralatan.
  3. Penggunaan peralatan yang sesuai dengan kondisi kerja sangat diperlukan untuk menghindari kecelakaan kerja.
  4. Berhati-hati dengan air. Jangan pernah meninggalkan perkeraan yang memungkinkan peralatan listrik jatuh atau bersinggungan dengan air. Begitu juga dengan semburan air yang langsung berinteraksi dengan peralatan listrik.
  5. Berhati-hati dalam membangun atau mereparasi peralatan listrik agar tidak membahayakan penguna yang lain dengan cara memberikan keterangan tentang spesifikasi peralatan yang telah direparasi.
  6. Pertimbangan bahwa bahan kimia dapat merusak peralatan listrik maupun isolator sebagai pengaman arus listrik. Sifat korosif dari bahan kimia dapat menyebabkan kerusakan pada komponen listrik.
  7. Perhatikan instalasi listrik jika bekerja pada atmosfer yang mudah meledak. Misalnya pada lemari asam yang digunakan untuk pengendalian gas yang mudah terbakar.
  8. Pengoperasian suhu dari peralatan listrik akan memberikan pengaruh pada bahan isolator listrik. Temperatur sangat rendah menyebabkan isolator akan mudah patah dan rusak. Isolator yang terbuat dari bahan polivinil clorida (PVC) tidak baik digunakan pada suhu di bawah 0 oC. Karet silikon dapat digunakan pada suhu –50 oC. Batas maksimum pengoperasian alat juga penting untuk diperhatikan. Bahan isolator dari polivinil clorida dapat digunakan sampai pada suhu 75 oC, sedangkan karet silikon dapat digunakan sampai pada suhu 150 oC.

Ionisasi Radiasi



Ionisasi radiasi dapat dikeluarkan dari peralatan semacam X-ray difraksi atau radiasi internal yang digunakan oleh material radioaktif yang dapat masuk ke dalam badan manusia melalui pernafasan, atau serapan melalui kulit. Non-ionisasi radiasi seperti ultraviolet, infra merah, frekuensi radio, laser, dan radiasi elektromagnetik dan medan magnet juga harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai sumber kecelakaan kerja.

Mekanik


Walaupun industri dan laboratorium moderen lebih didominasi oleh peralatan yang terkontrol oleh komputer, termasuk didalamnya robot pengangkat benda berat, namun demikian kerja mekanik masih harus dilakukan. Pekerjaan mekanik seperti transportasi bahan baku, penggantian peralatan habis pakai, masih harus dilakukan secara manual, sehingga kesalahan prosedur kerja dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Peralatan keselamatan kerja seperti helmet, sarung tangan, sepatu, dan lain-lain perlu mendapatkan perhatian khusus dalam lingkup pekerjaan ini.

Api

Hampir semua laboratorium atau industri menggunakan bahan kimia dalam berbagai variasi penggunaan termsuk proses pembuatan, pemformulaan atau analisis. Cairan mudah terbakar yang sering digunakan dalam laboratorium atau industri  adalah hidrokarbon. Bahan mudah terbakar yang lain misalnya pelarut organik seperti aseton, benzen, butanol, etanol, dietil eter, karbon disulfida, toluena, heksana, dan lain-lain. Para pekerja harus berusaha untuk akrab dan mengerti dengan informasi yang terdapat dalam Material Safety Data Sheets (MSDS). Dokumen MSDS memberikan penjelasan tentang tingkat bahaya dari setiap bahan kimia, termasuk di dalamnya tentang kuantitas bahan yang diperkenankan untuk disimpan secara aman.

Sumber api yang lain dapat berasal dari senyawa yang dapat meledak atau tidak stabil. Banyak senyawa kimia yang mudah meledak sendiri atau mudah meledak jika bereaksi dengan senyawa lain. Senyawa yang tidak stabil harus diberi label pada penyimpanannya. Gas bertekanan juga merupakan sumber kecelakaan kerja akibat terbentuknya atmosfer dari gas yang mudah terbakar.

Suara (kebisingan)

Sumber kecelakaan kerja yang satu ini pada umumnya terjadi pada hampir semua industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar. Generator pembangkit listrik, instalasi pendingin, atau mesin pembuat vakum, merupakan sekian contoh dari peralatan yang diperlukan dalam industri. Peralatan-peralatan tersebut berpotensi mengeluarkan suara yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja dan  gangguan kesehatan kerja. Selain angka kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin, para pekerja harus memperhatikan berapa lama mereka bekerja dalam lingkungan tersebut. Pelindung telinga dari kebisingan juga harus diperhatikan untuk menjamin keselamatan kerja.



Sumber : http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-aplikasi/manajemen-laboratorium-kimia/sumber-bahaya-yang-berpotensi-menimbulkan-kecelakaan-kerja/

Ancaman Tersembunyi Anak Indonesia

Dampak gizi lebih tidak sekedar menganggu estetika penampilan, tetapi menjadi predisposisi dari berbagai penyakit tidak menular baik degeneratif maupun kardiovaskuler. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah menghawatirkan tetapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat, sehingga gizi lebih bisa dikategorikan sebagai ancaman yang tersembunyi bagi kehidupan manusia.

8 Kelurahan di Wilayah Kecamatan Padang Selatan Sudah Stop Buang Air Besar Sembarangan

2012-04-21 17:04:36

Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc.PhD mewakli Menteri Kesehatan RI pada senin 16 April 2012 mencanangkan 8 Kelurahan di wilayah Kecamatan Padang Selatan yaitu Batipuh Panjang, Tabing Banda Gadang, Balai Gadang, Gunung Sariak, Pegambiran, Kurao Pagang, Limau Manis, dan Padang Sarai yang sudah Stop Buang Air Besar  Sembarangan (SBS) di desa Parak Buruk Kelurahan Batipuh Panjang.
 
Menurut Menkes dalam sambutannya yang dibacakan oleh Wamenkes mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan momentum penting dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku sehat yang dimulai dari diri sendiri, keluarga dan komunitas sehingga dicapainya masyarakat Sumatra Barat khususnya dan lebih khususnya lagi kota padang serta masyarakat Indonesia pada umumnya yang mandiri untuk hidup sehat.
 
Disadari pula bahwa upaya promosi dan preventif merupakan upaya penanganan masalah di hulu yang tidak cepat terlihat hasilnya dibandingkan upaya kesehatan di hilir seperti mengobati orang sakit. Oleh karena  itu pelaksanakaan kegiatan ini hendaknya terus disosialisasikan pada semua masyarakat untuk menjadikan air minum dan sanitasi sebagai prioritas pemenuhan kebutuhan dasar serta upaya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan perilaku higenis dan menumbuhkan rasa memiliki.
 
Selain itu Menkes sangat bangga atas semangat kuat pemerintah dan masyarakat khususnya kota padang dan umumnya Sumatra barat untuk meningkatkan derajat kesehatan di wilayahnya. Memperjuangkan pentingnya perilaku sehat dengan memenuhi kebutuhan akan sarana air minum dan sanitasi dasar melalui pemberdayaan masyarakat sesuai kearifan lokal setempat, dengan semangat kebersamaan kita akan berjuang menyelamatkan hidup anak-anak atau adik-adik kita untuk terhindar dari berbagai penyakit menular. Oleh karena itu Menkes  Menyeruhkan ajaklah masyarakat di sekitar kita untuk ikut membiasakan prilaku yang sederhana dan sekaligus menjadikannya sebagai perilaku hidup yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
 
“Saya menyambut baik acara ini karena menyangkut masalah mendasar dibidang kesehatan dan kebutuhan masyarakat akan air minum dan sanitasi yang merupakan wujud nyata dari upaya promosi dan preventif yang menjadi prioritas pemerintah dalam RPJMN 2010-2014 dan MDGs”, Ujar Menkes dalam sambutannya yang dibacakan oleh Wamenkes.
 
Oleh karena itu Menkes menyadari bahwa tujuan pembangunan kesehatan  tidak akan dapat tercapai hanya dengan upaya oleh sektor kesehatan saja apalagi hanya oleh Kementerian Kesehatan oleh karenanya dalam kesempatan yang baik ini Menkes mengharapkan kepada semua pihak di lingkungan pemerintahan kota padang, legeslatif, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi dan para mitra marilah bersama-sama masyarakat menyelanggarakan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Menkes berpesan kepada masyarakat kota padang khususnya masyarakat kecamatan padang selatan dan kecamatan lainnya yang telah mendapatkan pelayanan air minum dan sanitasi agar apa yang telah dibangun bersama dapat terus dipelihara dan dikembangkan. Semoga allah swt meridhoi harta kita untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.
 
Pada kesempatan tersebut dilakukan pembacaan deklarasi Sudah Stop Buang Air Besar Sembarangan oleh kelurahan penerima sertifikat Stop Buang Air Besar Sembarangan dan penyerahan sertifikat serta penandatangan Naskah Deklarasi Stop Buang Air Besar Sembarangan oleh Wamenkes RI yang di dampingi oleh Dirjen PP dan PL, Walikota Padang dan Kadinkes Provinsi Sumatra Barat.
 


Dilakukan pula peninjauan sarana air bersih dan sanitasi serta penempelan striker Stop Buang Air Besar Sembarangan, Keluarga Sadar Gizi, dan Pengetahuan Komprehensif tentang HIV AIDS kerumah penduduk desa Parak Buruk Kelurahan Batipuh Panjang oleh Wamenkes bersama Dirjen PP dan PL Kemenkes RI, Walikota Padang, Kadinkes Provinsi Sumatera Barat, dan Kadinkes Kota Padang serta Direktur Penyehatan Lingkungan (PL) Ditjen PP dan PL Kemenkes RI.

Sumber : http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=berita&m=fullview&id=573

Mengenal Antraks

2012-04-25 14:40:47

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kemenkes, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama  SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan Antraks, sebagai berikut :

1. Penyebab : Bacillus anthracis
Basil antraks msh dapat ditemukan pd bangkai hewan setelah 3-4 minggu (bila suhu rendah dan lembab). Bila basil berhasil keluar dari bangkai hewan, di lingkungan lembab dapat cepat berubah jadi spora. Spora dapat bertahan hidup sampai puluhan tahun (bisa sampai 60 th) terutama di tempat kering. Di samping di tanah, spora bisa ditemukan di wool, kulit, bahan dari hewan lainnya yg dikeringkan.
Air susu hewan penderita antraks atau baru saja mati dpt mengandung basil antraks.

Dalam bentuk vegetatif, basil mudah mati dg dimasak, desinfektan, antiseptik, antibiotik. Sedang dalam bentuk spora lebih tahan, tetapi dg suhu 100'C (mendidih) akan mati dalam 10 menit; dg karbol 5% akan mati dalam 40 hari dan dg formalin 10% akan mati dalam 4 jam.

2. Masa inkubasi : 2-7 hari

3. Tipe antraks, tergantung cara penularannya yaitu :
a). antraks kulit: penularan lewat kulit yg lecet, luka, abrasi.
b). antraks pencernaan : infeksi melalui makanan atau minuman yg tercemar basil atau spora antraks. CFR tipe ini 25-75%, yg sering fatal. Penderita bisa meninggal  < 2 hari setelah onset, biasanya karena perdarahan intestinal dan peritonitis.
c). Tipe paru : infeksi melalui inhalasi, biasanya karena menghirup spora antraks. Tipe ini juga fatal, kematian bisa terjadi 2-3 hari setelah onset. Bentuk inilah yang ditakutkan digunakan dalam terorisme.
d). Tipe meningitis : dapat terjadi akibat komplikasi tipe antraks yang lain. Tipe ini juga fatal.

4. Diagnosis : berdasar klinis, epidemiologis dan laboratoris. Lab antara lain : swab ulkus (antraks kulit), kultur darah, tes serologis dan percobaan ke binatang (kultur/biakan disuntikkan ke binatang).

5. Terapi : basil antraks peka terhadap antibiotik. Bisa digunakan Procain Penicillin, penicillin G, tetrasiklin, amoksikslin, ampisilin, ciprofloksasin, doksisiklin selama 5-7 hari.

Demikian disampaikan oleh Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama dari Jakarta.

Sumber : http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=berita&m=fullview&id=579

PELATIHAN NASIONAL EDUKATOR DIABETES INDONESIA

Jakarta, 21 April 2012


Menteri Kesehatan, diwakili oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE membuka secara resmi Pelatihan Nasional Edukator Diabetes Indonesia yang ke 10 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI) di Jakarta (20/4/12).

Kementerian Kesehatan  menyambut baik pelatihan ini, karena 4 hal, yang pertama Diabetes Mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia, sebab DM merupakan penyebab kematian ke 6, prevalensi DM perkotaan 5,7%, dan prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu 10,2%.

Alasan kedua karena pengendalian DM haruslah merupakan continum care, dimana edukasi merupakan salah satu faktor amat penting. Kemudian para mereka yang sudah dilatih akan langsung dapat menangani pasien DM dan keluarganya sehingga mereka dapat tetap sehat, bugar dan mandiri. Sedangkan yang terakhir adalah pelatihan ini merupakan bentuk nyata partisipasi aktif masyarakat kesehatan untuk bersama pemerintah menanggulangi masalah kesehatan di Indonesia, dalam hal ini Diabetes Mellitus.

Pelatihan berlangsung selama 3 hari dan diikuti lebih dari 200 peserta, terdiri dari dokter, perawat, diietesien, dan petugas lain. Pelatihan sudah berjalan 10 tahun dan mempunyai 3 tingkatan yaitu dasar, lanjut dan berkelanjutan. Metode pelatihan dalam bentuk : teori, loka karya, serta simulasi.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id
 
Sumber : http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1894-pelatihan-nasional-edukator-diabetes-indonesia.html

Rabu, 02 Mei 2012

KEMENKES KUNJUNGI RS STROKE NASIONAL (RSSN) BUKITTINGGI

Jakarta, 21 April 2012

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Berdirinya Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) di Bukittinggi (RSSN) diharapkan dapat menjadi pusat rujukan di bidang keilmuan, terutama dalam hal penanganan stroke, serta mampu menyebarkan ilmu ke kalangan kesehatan baik di Indonesia.

Demikian pernyataan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kemenkes, Prof dr Tjandra Yoga Aditama saat meninjau RSSN di Bukittinggi (18/4/12).
Pada kesempatan tersebut, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama menyatakan, sebagai salah satu rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan, RSSN harus mampu memberi Pelayanan Prima bagi pasien dan masyarakat yang berkunjung.

“Tujuan utama rumah sakit adalah untuk memberi pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya,” ujar Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama.

Menurut Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, RSSN dapat mengadakan kegiatan “keluar dinding RS" sesuai prinsip <em>hospital without wall</em>.

“Kegiatan ini baik dalam bentuk keilmuan untuk membantu kalangan kesehatan disekitar RS, tapi juga dalam bentuk pelayanan bagi masyarakat di lapangan”, jelas Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama.

Selain itu, kepada jajaran Direksi dan staf RSSN, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama menyatakan, sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Kemenkes RI, maka RSSN harus terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat, baik Dinas Kesehatan maupun juga Pimpinan Daerah.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id

Sumber : http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1897-kemenkes-kunjungi-rs-stroke-nasional-rssn-bukittinggi.html

PELATIHAN NASIONAL EDUKATOR DIABETES INDONESIA

Jakarta, 21 April 2012


Menteri Kesehatan, diwakili oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE membuka secara resmi Pelatihan Nasional Edukator Diabetes Indonesia yang ke 10 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI) di Jakarta (20/4/12).

Kementerian Kesehatan  menyambut baik pelatihan ini, karena 4 hal, yang pertama Diabetes Mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia, sebab DM merupakan penyebab kematian ke 6, prevalensi DM perkotaan 5,7%, dan prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu 10,2%.

Alasan kedua karena pengendalian DM haruslah merupakan continum care, dimana edukasi merupakan salah satu faktor amat penting. Kemudian para mereka yang sudah dilatih akan langsung dapat menangani pasien DM dan keluarganya sehingga mereka dapat tetap sehat, bugar dan mandiri. Sedangkan yang terakhir adalah pelatihan ini merupakan bentuk nyata partisipasi aktif masyarakat kesehatan untuk bersama pemerintah menanggulangi masalah kesehatan di Indonesia, dalam hal ini Diabetes Mellitus.

Pelatihan berlangsung selama 3 hari dan diikuti lebih dari 200 peserta, terdiri dari dokter, perawat, diietesien, dan petugas lain. Pelatihan sudah berjalan 10 tahun dan mempunyai 3 tingkatan yaitu dasar, lanjut dan berkelanjutan. Metode pelatihan dalam bentuk : teori, loka karya, serta simulasi.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id
 
Sumber : http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1894-pelatihan-nasional-edukator-diabetes-indonesia.html