Selasa, 04 Desember 2012

Tiga Masalah Gizi di Indonesia Bisa Teratasi


Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan tiga masalah gizi yang terjadi di Indonesia sudah dapat dikendalikan. Tiga masalah tersebut  yakni Kekurangan Vitamin A (KVA) pada balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan Anemia Gizi pada anak 2-5 tahun.
Penanggulangan masalah  KVA  pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan. Kemudian ada peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A.
"Dua survei terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari  20 ug sudah di bawah  batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat," papar Nafsiah dalam seminar Arah Kebijakan Pembangunan Gizi di Indonesia", dalam kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta (20/11/2012).
Sementara penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm.
"Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten. Median Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survai terakhir berkisar antara 200-230 µg/L, dan proporsi anak dengan EIU <100 µg/L di bawah 20%. Secara nasional masalah gangguan akibat kekurangan Iodium tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat," ucapnya.
Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan adalah anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni 51,5% (1995) menjadi 25,0% (2006) dan 17,6% (2011).
Selanjutnya, Menkes menjelaskan bahwa masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010).
"Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai," katanya.
Lebih jauh dikatakan, disparitas masalah gizi kurang menurut propinsi sangat lebar. Beberapa propinsi mengalami kemajuan pesat dan prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa propinsi lain  prevalensi gizi kurang masih sangat tinggi.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa faktor pengetahuan, perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang di masyarakat. Data lain menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Sementara itu, masalah gizi yang mengancam kesehatan masyarakat (emerging) adalah gizi lebih. Hal ini merupakan masalah baru selama beberapa tahun terakhir, yang menunjukkan kenaikan.
Prevalensi gizi lebih, baik pada kelompok anak-anak maupun dewasa meningkat hampir satu persen setiap tahun. Prevalensi gizi lebih pada anak-anak dan dewasa, masing-masing 14,4% (2007) dan 21,7% (2010).
Di samping itu, Menkes menyebutkan bahwa secara umum pola konsumsi pangan masih belum mencerminkan pola makan yang sesuai dengan pedoman gizi seimbang.
Karakteristik pola konsumsi pangan masyarakat (Susenas, 2011), antara lain: Konsumsi kelompok minyak dan lemak, sudah diatas anjuran kecukupan; Konsumsi sayur/buah  baru mencapai 63,3%; Konsumsi pangan hewani 62,1%; Konsumi kacang-kacangan 54%; Konsumsi umbi-umbian 35,8%; dan Kontribusi pangan olahan dalam pola makan sehari-hari sudah tinggi.
"Pola makan pangan yang tidak seimbang merupakan merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif", tandas Menkes.
Sumber : http://www.tribunnews.com/2012/11/21/tiga-masalah-gizi-di-indonesia-bisa-teratasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar