Jumat, 07 Desember 2012

Penyakit yang Ditularkan Melalui Media Air


Infeksi Virus Polio,Rotavirus, Leptospira, Clostridium botulinum Staphylococcus, Shigella, Salmonellosis, Escherichia coli, Entamoeba Histolytica, Giardia Lambia merupakan beberapa jenis parasit dan penyakit yang termasuk dalam waterborne disease. Sebagai petugas kesehatan masyarakat, dengan berbagai latar belakang spesifikasi keilmuan, seperti kesehatan lingkunngan, nutrisionis, perawat, dokter, epidemiolog, dan lain sebagainya, tentu sangat paham istilah water borne diseasi. Pengertian waterborn disease, pada dasarnya merupakan istilah penyakit yang disebabkan oleh air minum yang terkontaminasi mikrorganisme pathogen. Dengan pengertian lain, misalnya, jika air yang terkontaminasi digunakan untuk menyiapkan makanan, maka akan dapat menyebabkan foodborne disease.
Beberapa bahan kontaminan yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab antara lain kontaminan dalam air yang berasal dari urine atau faeces manusia atau binatang. Berdasarkan kondisi ini, dapat diasumsikan bahwa waterborne disease pada umumnya terjadi jika pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat tercukupi dari sumber air permukaan, seperti air hujan, sungai, atau air danau.
Untuk kepentingan pencegahan, beberapa upaya dapat dilakukan antara lain :
  • Penggunaan air minum yang bersih dan aman, antara lain misalnya dengan selalu memasak air untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Disamping itu, upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh air minum yang bersih dan aman dilakukan dengan teknik pengolahan menggunakan chlorine, ozone, atau radiasi sinar ultra violet.
  • Pembuangan faeces yang aman, dengan berperilaku hanya buang air besar pada jamban sehat
Berdasarkan kandungan bahan pencemar, penyebab  food dan waterborne diseases dapat berupa parasit, bakteri, virus, maupun toksin. Penjelasan masing-masing penyebab ini sebagai berikut :
Penyebab Waterborne Disease karena Parasit
Parasit penyebab waterborne disease antara lain:
  • Entamoeba histolytica
  • Giardia lambia
  • Schistosoma
  • Taenia
  • Ascaris lumbricoides
  • Enterobius vermicularis
Penyebab Waterborne Disease karena Bakteri
Bakteri  penyebab water atau foodborn disease antara lain:
  • Chlostridium botulinum
  • Campylobacter jejuni
  • Vibrio cholerae
  • Vibrio parahaemolyticus
  • Escherichia coli
  • Shigella dysenteriae
  • Salmonella typhi
Penyebab Waterborne Disease karena Virus
Jenis virus  penyebab water atau foodborn disease antara lain:
  • Rotavirus
  • Calicivirus
  • Enteric Adenovirus
  • Hepatitis A
  • Poliovirus
Penyebab Waterborne Disease karena Toksin
Jenis toksi penyebab water atau foodborn disease dapat berupa :
  • Toksin bahan kimia
  • Toksin yang dihasilkan mikroorganisme (bakteri, fungi)
Penyebab Waterborne Disease karena Parasit
A.    Giardia Lambia
Giardia lambia merupakan jenis protozoa yang ditemukan di duodenum dan jejenum manusia, sehingga menyebabkan giardiasis. Secara morfologi, giardia lambia terbagi menjadi fase tropozoit dan kista. Pada tropozoit, Giardia Lambia berbentuk seperti jantung, simetrik, tral dengan panjang 10-20 µm,     mempunyai 4     pasang flagela, 2 nukleus dengan prominan karyosome sentral dan 2 axostyle. Sedangkan dalam bentuk kista, yang berada dalam kolon, dapat ditemukan dalam tinja dalam jumlah banyak, mempunyai dinding tebal, dengan bentuk elips, panjang 8-14 µm, serta mempunyai 2 nukleus sebelum matur dan 4     nukleus pada kista yang matur.
B.    Entamoeba Histolytica
Entamoeba histolytica merupakan parasit yang dapat berada pada usus manusia dan usus hewan (dengan sebagian ada yang asimptomatik). Patogenesis entamoeba histolytica dimulai dengan tahap proses keberadaan     Kista yang masuk per oral, kemudian masuk usus duodenum sehingga terjadi amebulae. Kemudian kista ini  masing-masing menghasilkan 8 trophozoite. Sedangkan dampak yang terjadi dapat timbul penyakit (10% dari infeksi), ketika trophozoite menginfeksi epitel usus.
C.     Escherichia coli
Keberadaan escherichia coli dalam tubu, antra lain dapat menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran kencing, meningitis, juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial di tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Diare yang disebabkan e.coli antara lain jenis ETEC (Entero oxigenic E. coli) yang menyebabkan  “Treveller’s diarrhoea”, EPEC (Entero Pathogenic E. coli),     EIEC entero Invasive E. coli), EHEC (Entero Hemorrhagic E. coli), EAggEC (Entero Aggregative E. coli), serta EAEC (Entero Adherence E. coli) sebagai  penyebab “Treveller’s diarrhoea”. Sedangkan E. coli penyebab Infeksi saluran kencing (ISK), pada umumnya mempunyai karakteristik  antigen O bernomer rendah, mempunyai antigen K, serta  tipe pili tertentu.
D.    Salmonellosis
Salmonellosis dapat disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, dan Salmonella choleraseuis. Reservoir salmonellosis antara lain unggas, binatang pengerat, ternak, binatang  piaraan, seperti  kura-kura atau burung beo. Sedangkan mekanisme infeksi melalui makanan dan minuman seperti telur, daging, susu, dan air. Terjadinya diare pada salmonellosis antara lain karena kemampuan invasi dan transitosis enterosit mengakibatkan meningkatkan permeabilitas vaskular dan respon inflamasi pada sel enterosit. Juga adanya enterotoksin tidak tahan panas yang dikenali oleh anti LT (E. coli) dan Koleragen (dari V. cholerae), tetapi tidak dikenal oleh reseptor GM1. Beberapa strain mampu menembus lebih dalam sehingga dapat masuk pembuluh darah.
E.    Shigella
Shigella pertama kali diisolasi  pada 1896 oleh Kivoshi Shiga. Beberapa spesies yang sering menimbulkan diare pada manusia, antara lain  S. dysenteriae, S. flexneri, S. sonnei, S. boidii.  Dosis infeksi shigella beraada pada range 103 sel bakteri, dengan masa inkubasi 1-2 hari.  Secara prinsip pathogenesis shigella dimulai ketika terjadi invasi epitel mukosa yang menghasilkan toksin sehingga menyebabkan nekrosa membran mukosa, ulserasi superfisial, serta     perdarahan, sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya pseudomembran.
Gejala umum penyakit ini antara lain sakit perut mendadak, demam, diare berat yang disertai lendir dan darah. Diare ini berkurang dalam 2-5 hari. Sedangkan pengobatan dapat dilakukan melalui pemberian cairan (rehidrasi) dan pemberian antibiotika ampisilin, tetrasiklin,     siprofloksasin, kloramfenikol, trimetroprim-sulfametoksasol.
F.    Staphylococcus
Toksin dan enzim yang dihasilkan staphylococcus
Staphylococcus banyak menghasilkan enzim dan toksin yang berfungsi sebagai faktor virulensi, antara lain  Leukosidin yang pada  S. aureus mampu membunuh leukosit; Hialuronidase yang dapat  memecah asam hialuronat (komponen     jaringan ikat) sehingga menjadi faktor penyebaran; Stafilokinase yang dapat menyebabkan fibrinolisis, tetapi tidak sekuat streptokinase
G.    Clostridium botulinum 
C. botulinum biasa  terdapat di tanah atau pada kotoran binatang. Spora C. botulinum sangat tahan panas (100oC, 3-5 jam), namun     tidak tahan pemanasan pada pH rendah atau pada konsentrasi     garam tinggi. Toksin C. botulinum dilepaskan pada waktu sel tumbuh atau lisis.  Sedangkan  toksin butulinum terdiri dari tipe A, B, E. Toksin ini menyebabkan botulisme dalam 8-48 jam dengan dengan gejala antara pusing, nausea, vomiting, sukar menelan atau bernafas. Diagnosa keberadaan C. botulinum dilakukan dengan deteksi toksin pada serum dan faeces.
   
H.    Leptospira
Keberadaan leptospira dapat dilakukan dengan sampel untuk isolasi yang berasal dari darah dengan heparin, cairan cerebrospinal, jaringan, atau dengan urine. Patogenesis leptospira, pada umumnya infeksi dapat terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi, melalui membran mukosa, serta melalui kulit yang terluka. Sedangkan masa penyakit umumnya selama 1-2 minggu, dengan ditandai demam (bakteremia), masuk ke organ seperti liver dan ginjal, yang pada akhirnya menyebabkan perdarahan dan kerusakan pada jaringan.
I.    Rotavirus
Rotavirus merupakan penyebab diare pada manusia dan binatang, bahkan dapat menyebabkan terjadinya infeksi silang antar spesies. Patogenesis rotavirus antara lain melalui beberapa tahapan berikut :
•    Infeksi terjadi di usus kecil
•    Multiplikasi dalam sitoplasma enterosit
•    Sel rusak yang menyebabkan terjadinya pelepasan partikel virus (1010 partikle/ gram tinja)
•    Pemulihan kerusakan sel dalam 3-8 minggu
•    Terjadinya diare mungkin karena pengurangan absorbsi glukosa dan natrium
Gejala Klinis Rotavirus, antara lain ditandai dengan
•    Masa inkubasi 1-4 hari
•    Gejala: diare, demam, sakit pada abdomen, muntah à dehidrasi
•    Kasus sedang: gejala 4-5 hari à sembuh total
•    Diare berlangsung lebuh lama pada imunitas/ nutrisi rendah
•    Infeksi asimptomatik dapat terjadi (pada dewasa)
J.    Infeksi Virus Polio
Terjadinya replikasi awal virus polio pada usus melalui tahap : Virus masuk ke  dalam M cells, kemudian diteruskan ke Peyer’s Patches (merupakann akumulasi sel limfoid dibawah epitel spesifik , M cells), kemudian terjadi replikasi  sehingga virus masuk kedalam darah dan menyebar  sehingga terjadi CNS. Keberadaan virus ini dapat dicegah dengan vaksinasi menggunakan vaksin polio. Vaksin ini merupakan virus yang dilemahkan dan diberikan per oral. Vaksi polio distabilakan menggunakan MgCl2 1 mol / L, sehingga dapat tahan 1 tahun pada suhu 4oC atau beberapa minggu pada suhu 25oC. Kemungkinan terjadinya poliomyelitis pada anak yang divaksinasi sangat jarang  (1:2.000.000). Untuk efektifitas kerja vaksin terkait pencegahan penyakit polio ini, vaksinasi dengan vaksin trivalen polio diberikan masing-masing berurutan pada usia 2 bulan, 2  usia 4 bulan, usia 3  usia 6 bulan, usia 4 usia 1,5 tahun, yang kemudian diulang lagi pada usia sebelum masuk sekolah.
Sumber : http://www.indonesian-publichealth.com/2012/07/waterborne-disease.html

Imunisasi BCG Usaha Memutus Risiko Penularan TBC


Bakteri tuberkulosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Melalui penelitian yang cukup lama pada tanggal 24 April tahun 1927, dokter Albert Calmette dan seorang peneliti bernama Camille Guerin berhasil menemukan vaksin untuk mengobati penyakit TBC, yang dinamakan vaksin Bacillus Calmette et Guerin atau BCG. Pada tahun 1930 program vaksinasi BCG menyebabkan meninggalnya sejumlah bayi di Jerman akibat TBC, justru setelah mereka divaksin, dan akhirnya pada tahun 1950, Univesity Illionis di Amerika Serikat mendapat lisensi untuk memproduksi vaksin ini dan menjualnya di AS. Namun, karena masih kuatnya penentangan masyarakat AS, vaksin BCG tidak digunakan secara rutin.
Di Indonesia penyakit tuberkulosis mempunyai risiko penularan cukup tinggi, bervariasi antara 1-3% setiap tahun. Setiap tahun 10 orang akan terinfeksi kuman tuberkulosis diantara 1000 penduduk, dan 10% dari orang yang terinfeksi akan menjadi penderita tuberkulosis paru BTA (+). Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya disebabkan oleh keadaan status gizi buruk atau HIV/AIDS.
Beberapa jenis komplikasi yang sering terjadi pada penderita TBC, terutama pada stadium lanjut adalah hemoptitis berat, sering menyebabkan kematian akibat syok hypovolemic atau tersumbatnya jalan nafas, kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial, terjadi pelebaran pada bronkus (bronkiektasis) dan fibrosis, pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura). Terjadi penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan lain-lain, serta insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary insufficiency).
Penyakit tuberkulosis yang tidak diobati setelah 5 tahun akan mengalami beberapa kemungkinan 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronik yang tetap menular.
Beberapa hal penting yang perlu diketahui mengenai risiko penularan antara lain, bahwa penularan lebih mudah terjadi pada kondisi tertentu, seperti hunian padat, situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya keadaan malnutrisi, faktor tempat kerja yang mendukung resiko penularan, atau pada kondisi pelayanan kesehatan yang buruk. .
Upaya untuk mencegah penularan penyakit TB antara lain:
  • Mengobati pasien tuberkulosis paru BTA positif sampai sembuh (ini merupakan upaya terpenting),
  • Menganjurkan pada penderita agar menutup mulut dengan sapu tangan jika batuk atau bersin dan tidak meludah di lantai atau di sembarang tempat,
  • Peningkatan sosial ekonomi misalnya: perbaikan perumahan dan lingkungan, peningkatan status gizi dan peningkatan pelayanan kesehatan.
Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit TB antara lain dengan meningkatkan gizi, memberikan imunisasi BCG kepada bayi, memberikan pengobatan pencegahan kepada anak balita yang tidak mempunyai gejala TB tetapi mempunyai anggota keluarga yang menderita TB paru BTA positif yaitu tablet Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg berat badan per hari selama 6 bulan dan bila anak tersebut belum pernah mendapat BCG, maka BCG perlu diberikan sesudah pemberian INH.
Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,1 ml untuk anak atau 0,05 ml untuk bayi baru lahir. Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (sangat superfisial) sehingga terbentuk suatu lepuh, dilarang menggunakan alkohol dan desinfektan lainya. Menurut WHO, dari 13 vaksin BCG yang diproduksi di berbagai negara,yang memenuhi syarat adalah strain Pasteur 1173 P2, strain Tokyo 172, dan strain Glaxo 1077. Indonesia memakai vaksin dengan strain Pasteur 1173 P2.
Faktor imunitas memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit infeksi. Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, sehingga untuk memberikan perlindungan bagi anak terhadap infeksi kuman tuberkulosis, dilakukan vaksinasi BCG yang sedapatnya diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Pemberian 2 atau 3 kali tidak berpengaruh.
Pada populasi dengan prevalensi TB yang tinggi BCG tidak bisa untuk memproteksi berbagai bentuk baksil TB pada orang tua. Tetapi BCG dapat memberikan tingkat proteksi yang cukup hingga di atas 50% pada anak. Karena itulah pada daerah dengan prevalensi penyakit TB tinggi, vaksinasi BCG hendaknya diberikan segera sesudah lahir agar anak sedini mungkin mempunyai kekebalan terhadap TB (Briassoulis, 2005). Hal ini disebabkan karena kontak erat terbukti sangat memungkinkan terjadinya penularan TB. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan untuk 10-15 tahun. Sehingga revaksinasi pada anak umumnya dilakukan pada usia 12 -15 tahun.
Sumber : http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/seputar-imunisasi-bcg.html

Pengertian dan Tujuan Surveilans Malaria


Malaria masih merupakan masalah kesehatan di negara tropis, dengan perkiraan sekitar 40% penduduk dunia masih mengidap malaria. Penyakit malaria juga masih merupakan masalah kesehatan global, karena menyebabkan kematian dan mengakibatkan dampak sosial ekonomi besar terutama penduduk miskin yang bermukim di negara-negara sedang berkembang endemic malaria.
Sebagaimana kita ketahui, malaria merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui nyamuk yang mengandung parasit malaria. Berdasarkan data WHO, rata-rata sekitar dua juta orang meninggal karena malaria terutama terjadi pada balita-balita di Afrika. Sedangkan jumlah kasus diperkirakan sebanyak 300-500 juta kasus. Sementara kematian karena malaria menduduki peringkat ke lima paneyakit parasitik setelah infeksi pneumokokal saluran nafas bawa, diare termasuk disentri, dan HIV/AIDS.
Sementara pengertian Surveilans epidemiologi menurut Depkes RI (2003),  merupakan suatu proses pengamatan terus menerus dan sistematik terhadap terjadinya penyebaran penyakit serta kondisi yang memperbesar risiko penularan dengan melakukan pengumpulan data, analisis, interpretasi dan penyebaran interpretasi serta tindak lanjut perbaikan dan perubahan.
Sedangkan surveilans malaria menurut Depkes R.I (1998), adalah kegiatan terus menerus, teratur dan sistimatis dalam pengumpulan, pengolahan, analisis, interpretasi data malaria untuk menghasilkan informasi yang akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat sesuai dengan kondisi daerah setempat.
Tujuan  surveilans dalam program pemberantasan malaria antara lain :
  • Melakukan pengamatan dini (SKD) malaria di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya dalam rangka mencegah kejadian luar biasa (KLB) malaria
  • Menghasilkan informasi yang cepat dan akurat yang dapat disebarluaskan dan dipergunakan sebagai dasar penanggulangan malaria yang cepat dan tepat yang direncanakan sesuai dengan permasalahan.
  • Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) secara dini. d). Mengetahui trend penyakit dari waktu ke waktu.
  • Mendapatkan gambaran distribusi penyakit malaria menurut orang, tempat dan waktu.
Tujuan diatas kemudian dioperasionalkan dalam bentuk beberapa kebijakan yang telah ditetapkan oelh kementerian kesehatan, sebagai berikut :

  • Pengumpulan, pengolahan, interpretasi data malaria dilakukan pada semua tingkatan administratif mulai dari Puskesmas pembantu, Puskesmas, Rumah sakit, Dinas Kesehatan dan Departemen Kesehatan.
  • Meningkatkan peran-serta masyarakat seperti kader malaria, pos obat desa (POD), terutama dalam kegiatan pengobatan
  • Meningkatkan kemitraan dalam jaringan informasi malaria dengan sektor terkait.Upaya pemberantasan malaria yang tepat dan cepat yang berpedoman pada petunjuk dasar atau “evidence based”.
  • Meningkatkan kerja sama lintas batas wilayah administratif (perbatasan wilayah Puskesmas, kabupaten, propinsi dan antar negara) dalam perencanaan dan upaya penanggulangan malaria.
Pelaksanaan kebijakan diatas, kemudian diterapkan dalam bentuk penyelenggaraan surveilans program pencegahan penyakit malaria, yang antara lain meliputi tahap pengamatan dan survei. Pada tahap pengamatan penyakit malaria beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain berupa kegiatan penemuan penderita malaria. Tujuan penemuan penderita adalah menemukan penderita secara dini dan secepatnya memberikan pengobatan, memantau fluktuasi malaria pada suatu tempat, sebagai alat bantu menentukan musim penularan, dan peringatan dini terhadap kejadian luar biasa (KLB).
Tahap diatas dilaksanakan dengan beberapa jenis kegiatan yang seperti Active Case Detection (ACD). Kegiatan ini  dilakukan secara aktif oleh juru malaria desa atau petugas lapangan malaria, dengan jenis kunjungan dilakukan pada beberapa jenis kriteria desa endemik malaria, antara lain :
  • Desa  High Case Incidence (HCI), dengan melakukan kunjungan rumah 2 minggu sekali.
  • Desa Middle Case Incidence (MCI), dengan melakukan kunjungan rumah 1 bulan sekali.
  • Desa Low Cace Incidence (LCI), dengan melakukan kunjungan ditingkat dusun sebulan sekali.
Tindak lanjut kunjungan diatas, kemudian diikuti dengan kegiatan pengambilan sediaan darah (SD). Kegiatan ini hanya dilakukan pada penduduk yang memenuhi beberapa criteria yang dipersyaratkan seperti demam, menggigil, baik disertai sakit kepala atau tidak dalam tiga hari terakhir.
Selain pengambilan sediaan darah juga dilakukan kegiatan passive case detection (PCD). PCD dilakukan dengan mengintensifkan pengambilan sediaan darah di institusi/pusat pelayanan kesehatan swasta maupun pemerintah dan kader pelayanan kesehatan.
Sebagai indikator kinerja petugas, target pengambilan sediaan darah ditetapkan sebagai berikut:
  • Pada Desa High Case Incidence (HCI) sebesar 5%K
  • Pada Desa Middle Case Incidence (MCI) sebesar 5%K
  • Pada Desa Low Case Incidence (LCI) sebesar 3%K
(Keterangan : K merupakan kunjungan ke Puskesmas dengan standard 60 % dari populasi).
Setelah beberapa tahap kegiatan diatas dilakukan, selanjutnya dilaksanakan tahap kegiatan penyidikan epidemiologi. Kegiatan ini dilakukan pada seluruh penghuni rumah, tempat tinggal penderita positip malaria dan seluruh penghuni pada empat rumah ddisekeliling rumah penderita tersebut. Selain itu juga dilaksanakan survey penderita malarai. Survei yang dilakukan dalam pemberantasan malaria meliputi jenis survei malariometrik (MS), Mass fever survei (MFS), Survei kontak, dan survei migrasi.
Kegiatan lain yang tidak kalah penting dalam surveilans malaria adalah pengamatan vektor. Beberapa jenis pengamatan vektor malaria dilakukan dengan :
  • Pengamatan sewaktu (spot survei) dan pengamatan
  • kesinambungan (longitudinal survei).
  • Pengamatan lingkungan, yang dilaksanakan dengan melakukan pengamatan tempat-tempat perindukan nyamuk.
Kondisi perkembangan malaria pada suatau wilayah kemudian dipetakan. Pembagian situasi malaria pada suatu wilayah dibagi dalam beberapa kriteria antara lain periode peringatan dini, periode kejadian luar biasa (KLB), dan periode pasca KLB.  Sddangkan jenis data yang dianalisa untuk kepentingan pembagian periodisasi tersebut antara lain :
Periode pengamatan dini.
Periode ini data yang diperlukan berbeda pada berbagai tingkatan kewilayahan. Pada tingkat Puskesmas, jenis data yang dikumpulkan adalah data kasus vektor, logistik, demografi dan lingkungan. Sedangkan pada tahap pengolahan dan anlisa data, dengan memperhatikan variablel-variabel antara lain :
  • Indikasi situasi malaria, dibedakan menjadi situasi malaria di Puskesmas yang sudah mampu memeriksa spesimen darah secara laboratorium dan Puskesmas yang belum mampu.
  • Indikasi perubahan lingkungan. Tingkat reseptivitas.
  • Situasi lingkungan – Untuk memudahkan interpretasi data, maka semua data disajikan dalam bentuk yang mudah dipahami, yaitu dalam bentuk peta, angka insiden, peta vektor, peta keadaan geografis tabel dan grafik.
Apabila terjadi kecenderungan peningkatan penderita malaria kemudian dilakukan upaya penanggulangan dengan Mass fever survey (MFS), pengamatan vektor dan pemberantasan vektor.
Pada tingkat Kabupaten jenis data yang dikumpulkan adalah data kematian di Puskesmas dan rumah sakit, data kasus per desa per tahun, data cakupan pengobatan, data vektor, data laboratorium, data demografi, data logistik, data lingkungan, (curah hujan, luas tempat perindukan) dan data sosial budaya.
Sedangkan jenis data yang dikumpulkan adalah data kematian di puskesmas dan rumah sakit, data kasus per desa per tahun, data cakupan pengobatan, data vektor, data demografi, dan data logistik.
Periode Kejadian Luar Biasa : 
Pada periode KLB yang dikumpulkan antara lain data kematian, data kasus dan trend malaria, data vektor, data lingkungan yang berkaitan dengan vektor (tempat perindukan, ternak), data form W1 (dilaporkan dalam 24 jam), data hasil konfirmasi KLB, data batas wilayah KLB, data logistik (obat malaria, bahan dan peralatan lainnya), data hasil upaya penanggulangan yang telah dilakukan.
Pasca Kejadian Luar Biasa :
Kegiatan yang dilakukan pada periode ini sama seperti pada periode pengamatan dini yaitu pengamatan kasus, vektor dan lingkungan yang dilakukan secara lebih intensif.
Data yang telah diolah dan dianalisa menjadi informasi yang mendukung upaya penanggulangan malaria digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Sedangkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan dilakukan pengolahan data dengan  ukuran-¬ukuran seperti insiden dan prevalensi, dengan beberapa indikator seperti angka kesakitan dan angka kematian karena malaria, Prevalence Rate (PR), Slide positive rate (SPR), data vektor seperti Man bitting rate (MBR), jenis vektor, bionomik vektor, status kerentanan vektor, serta data terkait lingkungan.
Sumber : http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/surveilans-malaria.html


Standar Penyimpanan Vaksin Menurut Depkes RI dan WHO


Vaksin adalah senyawa antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif danmeningkatkan imunitas tubuh terhadap suatu penyakit sehingga tubuh dapat segera membuat antibodi yang di kemudian hari dapat mencegah atau kebal dari penyakit tersebut. Pada tahun 1877 Louis Pasteur membuat suatu vaksin, menggunakan kuman hidup yang telah dilemahkan. Vaksin ini dimaksudkan untuk vaksinasi cowpok dan smallpox. Pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax, menyusul pembuatan vaksin rabies tahun 1885.
Terkait dengan penyimpanan vaksin, aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku. Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan.
Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi vaksin dilakukan pada temperature 0oC sampai 8°C. Vaksin polio boleh mencair dan membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Vaksin DPT, DT, dT, hepatitis-B dan Hib akan rusak bila membeku pada temperature 0° (vaksin hepatitis-B akan membeku sekitar -0,5°C).
Menurut Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi, Depkes RI, 1992, sarana penyimpanan vaksin di setiap tingkat administrasi berbeda. Di tingkat pusat, sarana penyimpan vaksin adalah kamar dingin/cold room. Ruangan ini seluruh dindingnya diisolasi untuk menghindarkan panas masuk ke dalam ruangan. Ada 2 kamar dingin yaitu dengan suhu +2o C sampai +8o C dan suhu -20o C sampai -25o C. Sarana ini dilengkapi dengan generator cadangan untuk mengatasi putusnya aliran listrik. Di tingkat provinsi vaksin disimpan pada kamar dingin dengan suhu -20o C sampai -25o C, di tingkat kabupaten sarana penyimpanan vaksin menggunakan lemari es dan freezer.
Dasar yang menjadi pertimbangan dalam memilih cold chain antara lain meliputi jumlah sasaran, volume vaksin yang akan dimuat, sumber energi yang ada, sifat, fungsi serta stabilitas suhu sarana penyimpanan, suku cadang dan anjuran WHO atau hasil penelitian atau uji coba yang pernah dilakukan. Sarana cold chain di tingkat Puskesmas merupakan sarana penyimpanan vaksin terakhir sebelum mencapai sasaran. Tingginya frekuensi pengeluaran dan pengambilan vaksin dapat menyebabkan potensi vaksin cepat menurun.
Standar Penempatan Vaksin
Untuk melakukan pemantauan suhu rantai dingin (cold chain) vaksin maka digunakan pemantau suhu. Pada kamar dingin (cold room) alat pemantau suhu berupa lampu alarm yang akan menyala bila suhu di dalamnya melampaui suhu yang ditetapkan. Untuk memantau suhu lemari es selain menggunakan termometer yang terletak pada dinding luar lemari es juga menggunakan termometer yang diletakkan dalam lemari es.Sementara standar WHO (User’s handbook for vaccine, 2002),  menjelaskan detail susunan vaksin dalam lemari es sebagaimana pada gambar disamping :
Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan di masing¬-masing tingkatan administrasi. Untuk menjaga rantai dingin vaksin yang disimpan pada lemari es di Puskesmas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pengaturan dan penataan vaksin di dalam lemari es
  2. Pengontrolan suhu lemari es dengan penempatan termometer di dalam lemari di tempat yang benar dan pencatatan suhu pada kartu suhu atau grafik suhu sebanyak dua kali sehari pada pagi dan siang hari
  3. Pencatatan data vaksin di buku catatan vaksin meliputi tanggal diterima atau dikeluarkan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, jumlah diterima atau dikeluarkan dan jumlah sisa yang ada.
Cara penyimpanan untuk vaksin sangat penting karena menyangkut potensi dan daya antigennya. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyimpanan vaksin adalah antara lain suhu, sinar matahari dan kelembaban. Sedangkan standard waktu penyimpanan vaksin disetiap tingkatan, menurut user’s handbook for vaccine cold room or freezer room, WHO ( 2002), sebagaimana gambar berikut :
Standar Tempat dan Suhu Vaksin
Pada awalnya vaksin yang berasal dari virus hidup seperti polio dan campak, harus disimpan pada suhu di bawah 0oC. Namun berdasarkan penelitian berikutnya, ternyata hanya vaksin polio yang masih memerlukan suhu dibawah 0oC. Sementara vaksin campak dapat disimpan di refrigerator pada suhu 2oC-8oC. Sedangkan vaksin lainnya harus disimpan pada suhu 2oC-8oC.
Sesuai Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Depkes RI, 2005, vaksin hepatitis B, DPT, TT, dan DT tidak boleh terpapar pada suhu beku karena vaksin akan rusak akibat meningkatnya konsentrasi zat pengawet yang merusak antigen. Sementara terkait penyimpanan vaksin, susunannya harus diperhatikan. Karena suhu dingin dari lemari es/freezer diterima vaksin secara konduksi, maka ketentuan jarak antar kemasan vaksin harus dipenuhi. Demikian pula letak vaksin menurut jenis antigennya mempunyai urutan tertentu untuk menghindari penurunan potensi vaksin yang terlalu cepat.
Pada pelaksanaan program imunisasi, salah satu kebijakan yang dipersyaratkan adalah tetap membuka vial atau ampul baru meskipun sasaran sedikit. Jika pada awalnya indeks pemakaian vaksin menjadi sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dosis per vial/ampul, namun tingkat efisiensi dari pemakaian vaksin ini harus semakin tinggi. Sementara menurut WHO, prinsip yang dipakai dalam mengambil vaksin untuk pelayanan imunisasi, adalah, Earliest Expired First Out (EEFO) (dikeluarkan berdasarkan tanggal kadaluarsa yang lebih dulu). Dengan adanya Vaccine Vial Monoitor (VVM) ketentuan EEFO tersebut menjadi pertimbangan kedua. Vaccine Vial Monitor sangat membantu petugas dalam manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan warna pada indikator yang ada.
Sumber : http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/standar-penyimpanan-vaksin.html

Penyimpanan dan Penyebab Kerusakan Vaksin


Jenis penyakit menular yang saat ini menjadi program imunisasi adalah TBC, difteri, pertusis, polio, campak, tetanus dan hepatitis B. Secara umum tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian PD3I, sedangkan tujuan khususnya antara lain tercapainya Universal Child Immunization yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010, tercapainya eliminasi tetanus maternal dan neonatus (insiden bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2008, Eradikasi polio pada tahun 2008, serta tercapainya reduksi campak pada tahun 2006.
Menurut Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Depkes RI, 2005, sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh, kegiatan imunisasi dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh dan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Sebagai produk biologis, vaksin memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan penanganan yang khusus sejak diproduksi di pabrik hingga dipakai di unit pelayanan. Vaksin, sebagai media utama kegiatan imunisasi, merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan, sehingga penyimpanan vaksin membutuhkan perhatian khusus.  Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi vaksin dilakukan pada temperature 0oC sampai 8°C. Vaksin polio boleh mencair dan membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Sedangkan vaksin DPT, DT, dT, hepatitis-B dan Hib akan rusak bila membeku pada temperature 0° (vaksin hepatitis-B akan membeku sekitar -0,5°C).
Mungkin masih banyak petugas kesehatan yang beranggapan asal didalam pendingin maka vaksin sudah aman. bahkan mungkin masih banyak yang terjebak pada pemahaman, misalnya makin dingin tempat penyimpanan vaksin makin baik bagi vaksin. Mungkin tulisan berikut dapat kembali mengingatkan kita, misalnya Semua vaksin akan rusak bila terpapar panas atau sinar matahari langsung. Beberapa vaksin tidak tahan terhadap pembekuan, bahkan dapat rusak secara permanen.
Terkait dengan prosedur penyimpanan, Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan vaksin : 1) Lemari pendingin untuk penyimpanan vaksin yang aman. 2) Thermometer ruangan di bagian tengah lemari pendingin harus ada, temperature dicek, dan dicatat secara teratur setiap hari. 3) Lemari pendingin harus ditutup rapat, tidak boleh ada kebocoran pada sekat pintu. 4) Lemari pendingin tidak boleh dipakai untuk menyimpan makanan atau minuman. 5) Lemari pendingin boleh dibuka seminimal mungkin. 6) Letakkan vaksin di rak bagian atas atau tengah, jangan di rak bagian bawah atau di daun pintu karena perubahan temperature terlalu besar apabila pintu dibuka-tutup terlalu sering (>10°C). 7) Jangan memenuhi lemari pendingin dengan vaksin secara berlebihan karena akan mengganggu sirkulasi udara dingin dalam lemari pendingin.
Beberapa faktor, dapat menjadi penyebab timbulnya kerusakan vaksin, seperti penyimpanan pada suhu yang tidak sesuai, adanya perubahan fisik vaksin, serta pengaruh sinar matahari.
Faktor Suhu: Pada prinsipnya masing-masing vaksin mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap suhu yang tidak tepat. Paparan suhu yang tidak tepat menyebabkan umur penggunaan vaksin berkurang. Sebagai contoh vaksin Hepatitis B-PID dan vaksin DPT-HB pada suhu 0,5o C, dapat bertahan selama maksimal 30 menit.
Perubahan Fisik: Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada vaksin DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun dikocok sekuat-kuatnya. Vaksin lain tidak akan berubah penampilan fisik walaupun potensinya sudah hilang / berkurang. Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Dengan demikian kita harus yakin betul bahwa cara penyimpanan yang kita lakukan sudah benar dan menjamin potensi vaksin tidak akan berubah.
Sinar matahari dan sinar ultraviolet : Semua vaksin akan rusak jika terkena sinar matahari langsung serta sinar ultra violet. Vaksin yang tidak habis pada pelayanan statis, seperti di Puskesmas, rumah sakit, atau pada praktek swasta, dapat dipergunakan lagi pada pelayanan hari berikutnya, dengan beberapa syarat, antara lain vaksin belum kadaluarsa, vaksin disimpan dalam suhu 2 o C – 8o C, tidak pernah terendam air, sterilitasnya terjaga, serta VVM masih dalam kondisi A atau B.
Vaccine Vial Monitor (VVM) merupakan indikator paparan panas yang melekat pada setiap vial vaksin yang digunakan untuk memantau vaksin selama perjalanan maupun dalam penyimpanan. Semua vaksin program imunisasi kecuali BCG telah dilengkapi dengan VVM. Vaccine Vial Monitor (VVM) tidak mengukur potensi vaksin secara langsung, namun memberikan informasi tentang layak tidaknya pemakaian vaksin yang telah terkena paparan panas. Vaccine Vial Monitor (VVM) mempunyai karakteristik yang berbeda, spesifik untuk tiap jenis vaksin. Vaccine Vial Monitor (VVM) untuk vaksin polio tidak dapat digunakan untuk vaksin Hb, begitu juga sebaliknya. Sedangkan cara membaca VVM secara detail, menurut Getting started With Vaccine Vial Monitors (WHO, 2002) dapat dilihat pada tabel berikut :
Vaccine Vial Monitors (VVM)
Penting untuk diperhatikan, bahwa kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika vaksin disimpan dan ditangani dengan tepat mulai dari pembuatan hingga penggunaan. Dan monitoring kualitas vaksin dapat dilakukan secara cepat dengan melihat indikator VVM dan freeze tag atau freeze watch. Selain itu, untuk menjaga rantai dingin vaksin tetap terjaga di perlukan termometer sebagai alat pemantau suhu pada lemari es (baik dipasang didalam maupun diluar lemari)
Sumber : http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/penyebab-kerusakan-vaksin.html