Bramirus Mikail |
Asep Candra |
Kamis, 29 September 2011 | 17:32 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Belum lama ini sebuah riset
yang diusung oleh Kemitraan Pemerintah dan Swasta untuk Cuci Tangan
Pakai Sabun (CTPS) menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat terkait
CTPS terbilang sudah tinggi. Namun sayang, prakteknya justru masih
sangat rendah.
"Orang menganggap cuci tangan itu tidak penting. Mereka hanya cuci tangan pakai sabun kalau tangannya kotor, berminyak, bau. Kalau tidak kotor atau bau dia akan menganggap tangannya bersih. Padahal, sebenarnya kuman nempel di mana-mana," ujar Wendy Sarasdyani, koordinator Public-Private Partnership for Handwashing (PPP-HWWS) di Jakarta, Kamis (29/9/2011).
Menurut Wendy, pada dasarnya perilaku masyarakat terkait kebiasaan CTPS baik di perkotaan maupun desa tidak jauh berbeda. Ia menganggap CTPS tidak menjadi kebiasaan atau norma sosial.
Untuk mengubah perilaku tersebut, Kemitraan Pemerintah Swasta untuk CPTS telah mengujikan satu metodologi dinamakan pemicuan. Wendy menuturkan, maksud pemicuan di sini sebenarnya tidak lain adalah penyuluhan.
"Pemicuan ini ada prinsip-prinsipnya. Salah satunya tidak ada subisidi dari manapun, dan pemberdayaan masyarakat yang dipandu oleh masyarakat itu sendiri. Adapun elemen di dalamnya kita akan tumbuhkan rasa malunya dia, rasa jijik, rasa nggak enak," ucapnya.
Untuk menumbuhkan rasa jijik dan risih tersebut, ia membuat suatu demo dengan menggunakan tepung kanji yang dioleskan ke seluruh tangan. Kemudian digosok dengan cairan yodium, setelah digosok lalu tangan dicuci tanpa sabun. Demo ini untuk melihat, bahwa cuci tangan tanpa sabun saja tidak akan cukup membunuh kuman.
"Nah di situ akan kelihatan kalau tangannya ada bercak-bercak hitam, sebagai ilustrasi kuman yang menempel di tangan. Dengan seperti itu mereka akhirnya ke picu dan tergerak untuk mau cuci tangan. Karena masyarakat kita harus melihat dan mengalami baru mau berubah. Kalau tidak sepetti itu tidak akan ada perubahan perilaku," tandasnya.
"Orang menganggap cuci tangan itu tidak penting. Mereka hanya cuci tangan pakai sabun kalau tangannya kotor, berminyak, bau. Kalau tidak kotor atau bau dia akan menganggap tangannya bersih. Padahal, sebenarnya kuman nempel di mana-mana," ujar Wendy Sarasdyani, koordinator Public-Private Partnership for Handwashing (PPP-HWWS) di Jakarta, Kamis (29/9/2011).
Menurut Wendy, pada dasarnya perilaku masyarakat terkait kebiasaan CTPS baik di perkotaan maupun desa tidak jauh berbeda. Ia menganggap CTPS tidak menjadi kebiasaan atau norma sosial.
Untuk mengubah perilaku tersebut, Kemitraan Pemerintah Swasta untuk CPTS telah mengujikan satu metodologi dinamakan pemicuan. Wendy menuturkan, maksud pemicuan di sini sebenarnya tidak lain adalah penyuluhan.
"Pemicuan ini ada prinsip-prinsipnya. Salah satunya tidak ada subisidi dari manapun, dan pemberdayaan masyarakat yang dipandu oleh masyarakat itu sendiri. Adapun elemen di dalamnya kita akan tumbuhkan rasa malunya dia, rasa jijik, rasa nggak enak," ucapnya.
Untuk menumbuhkan rasa jijik dan risih tersebut, ia membuat suatu demo dengan menggunakan tepung kanji yang dioleskan ke seluruh tangan. Kemudian digosok dengan cairan yodium, setelah digosok lalu tangan dicuci tanpa sabun. Demo ini untuk melihat, bahwa cuci tangan tanpa sabun saja tidak akan cukup membunuh kuman.
"Nah di situ akan kelihatan kalau tangannya ada bercak-bercak hitam, sebagai ilustrasi kuman yang menempel di tangan. Dengan seperti itu mereka akhirnya ke picu dan tergerak untuk mau cuci tangan. Karena masyarakat kita harus melihat dan mengalami baru mau berubah. Kalau tidak sepetti itu tidak akan ada perubahan perilaku," tandasnya.
Sumber:
http://health.kompas.com/read/2011/09/29/17324045/Kebiasaan.Cuci.Tangan.Masih.Rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar