Lusia Kus Anna |
Sabtu, 8 Oktober 2011 | 07:45 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 20.000 penderita
gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Indonesia hidup di pasungan.
Ketidaktahuan tentang penyakit jiwa, kendala ekonomi, serta mahal dan
jauhnya akses kesehatan menyebabkan hanya sedikit penderita gangguan
jiwa berat yang mendapat perawatan.
”Sikap agresif, emosional,
paranoid, dan memusuhi orang lain yang ditunjukkan penderita gangguan
jiwa berat membuat sebagian masyarakat memasung keluarga mereka yang
menderita gangguan jiwa. Padahal, itu adalah gejala penyakit,” ujar
Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan, Irmansyah, di
Jakarta, Jumat (7/10).
Masyarakat masih menganggap gangguan jiwa
berat bukanlah persoalan medik, tetapi sebagai ”penyakit” akibat
kemasukan setan atau kutukan. Kondisi ini membuat upaya medik yang
dilakukan justru mendapat penolakan dari keluarga.
Riset Kesehatan
Dasar 2007 Kemkes menunjukkan, penderita gangguan jiwa berat di
Indonesia mencapai 0,46 persen atau sekitar 1 juta orang. Prevalensi
tertinggi di DKI Jakarta (2,03 persen), Aceh (1,9 persen), dan Sumatera
Barat (1,6 persen).
Selain pemasungan, gangguan kesehatan jiwa
menimbulkan berbagai persoalan sosial, mulai dari perceraian, bunuh
diri, tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan narkotika dan
zat adiktif, hingga pengangguran dan kemiskinan.
Fasilitas
kesehatan jiwa yang ada sangat terbatas. Menurut Sekretaris Ditjen Bina
Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Kuntjoro Adi Purjanto, saat ini
ada 48 rumah sakit jiwa dengan 7.716 tempat tidur. Peran swasta masih
kecil.
Namun, banyak rumah sakit jiwa mengajukan perubahan status
menjadi rumah sakit umum. Adapun rumah sakit umum kurang memperhatikan
layanan kesehatan jiwanya.
Tenaga kesehatan jiwa pun sangat
terbatas. Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, rasio
ideal dokter spesialis kesehatan jiwa (psikiater) dengan penduduk adalah
1 : 30.000. Namun, di Indonesia, rasio psikiater dan penduduk baru
mencapai 0,22 : 100.000.
”Saat ini baru ada sekitar 600 psikiater,” tutur Irmansyah.
Menteri
Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengingatkan, para ahli kesehatan
jiwa untuk menyiapkan rencana pengelolaan kesehatan jiwa dengan matang.
Ke depan, potensi gangguan jiwa akan meningkat seiring pertumbuhan
ekonomi. ”Jika terlambat mengantisipasi, butuh biaya besar untuk merawat
dan mengobatinya,” ujarnya. (MZW)
Sumber:
http://health.kompas.com/read/2011/10/08/07452340/20.000.Orang.Hidup.Dipasung
http://health.kompas.com/read/2011/10/08/07452340/20.000.Orang.Hidup.Dipasung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar