Jakarta, 17 Maret 2012
Pelayanan jasa tukang gigi tersebar di berbagai tempat. Pekerjaan tukang gigi ini dibatasi pada pembuatan gigi tiruan lepasan dari akrilik (plastik) sebagian atau penuh dan diizinkan memasang tetapi tidak diatas sisa akar gigi. Namun, berdasarkan plang yang terlihat di berbagai tukang gigi menyebutkan pelayanan yang diluar ketentuan yang sebetulnya memerlukan pemahaman atau dasar keilmuan yang kuat serta keterampilan atau kompetensi yang dapat di pertanggung jawabkan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) drg. Zaura Rini Anggraeni, saat jumpa pers di gedung Kemenkes, Sabtu (17/03).
Menurut Zaura, tukang gigi telah melakukan pemasangan kawat gigi.
Padahal, untuk memasang kawat gigi ini harus didiagnosis terlebih dahulu
dan tidak untuk bergaya. Bahaya dari pemasangan kawat gigi untuk
bergaya dapat merusak posisi gigi yang menyebabkan tulang sebagai
pegangan gigi itu menjadi rusak dan gigi akan goyang. Kawat gigi yang
ditempelkan menyebabkan pembersihan yang tidak sempurna dan menimbulkan
kerusakan.
“Pemasangan kawat gigi yang bukan untuk meratakan gigi memberikan risiko terjebaknya makanan pada gigi sehingga dapat menimbulkan lubang pada gigi, pendarahan pada gusi, dan sebagainya. Itu adalah fashion yang tidak menguntungkan bagi kesehatan gigi namun justru merugikan,” ujar drg. Zaura.
Menurut Zaura, kemungkinan masyarakat yang memilih pergi ke tukang gigi dikarenakan biaya yang ringan. Tetapi masyarakat tidak melihat akibat yang ditimbulkan justru akan memerlukan pembiayaan yang lebih tinggi.
Padahal, di Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar dapat memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau.
“Yang terpenting adalah memelihara gigi agar tetap sehat. Apabila ada kelainan dan membutuhkan bantuan, datanglah sedini mungkin jangan sampai menunggu sampai parah” kata drg. Zaura.
drg. Zaura menghimbau masyarakat agar tidak sembarangan mencari pengobatan gigi. Masyarakat dapat berobat ke tempat yang diakui yakni Puskesmas, RS dan RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) yang ada di setiap fakultas kesehatan gigi dan mulut (FKG) yang dapat dipertanggungjawabkan mutunya.
Kompetensi tukang gigi sama sekali di luar konteks. PDGI tidak melihat tukang gigi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan gigi di Indonesia. Tetapi, tukang gigi adalah pelayanan yang bersifat tumbuh dari warisan zaman dulu yang mungkin dibawa dari negara China.
Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 yang mengatur perizinan praktik tukang gigi, tidak boleh diwariskan dan peraturan tahun 1989 hanya sampai usia 65 tahun. Jadi, sebetulnya pekerjaan tukang gigi yang secara alamiah dengan sendirinya akan habis. Orang-orang yang ingin berprofesi sebagai tukang gigi dapat dipekerjakan sebagai teknisi gigi yang bekerja di laboratorium dokter gigi yang tugasnya membantu dokter gigi dalam hal pembuatan gigi tiruan dan lainnya, tegas Zaura.
Zaura menambahkan, bagi para tukang gigi yang secara hukum masih dibenarkan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan perizinannya, pihak Kemenkes diharapkan melakukan pengawasan sehingga apa yang diberikan kepada masyarakat tidak merugikan.
Menurut Zaura, PDGI memandang Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989 sebagai aspek perlindungan masyarakat terhadap pelayanan kedokteran gigi yang dibawah standar. Dengan demikian diharapkan pelayanan kesehatan gigi di Indonesia dilakukan secara benar melalui kaidah-kaidah kebenaran ilmu pengetahuan secara baik dengan memperhatikan keselamatan dari pasien atau masyarakat
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620, atau alamat e-mail info@depkes.go.id dan kontak@depkes.go.id
“Pemasangan kawat gigi yang bukan untuk meratakan gigi memberikan risiko terjebaknya makanan pada gigi sehingga dapat menimbulkan lubang pada gigi, pendarahan pada gusi, dan sebagainya. Itu adalah fashion yang tidak menguntungkan bagi kesehatan gigi namun justru merugikan,” ujar drg. Zaura.
Menurut Zaura, kemungkinan masyarakat yang memilih pergi ke tukang gigi dikarenakan biaya yang ringan. Tetapi masyarakat tidak melihat akibat yang ditimbulkan justru akan memerlukan pembiayaan yang lebih tinggi.
Padahal, di Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar dapat memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau.
“Yang terpenting adalah memelihara gigi agar tetap sehat. Apabila ada kelainan dan membutuhkan bantuan, datanglah sedini mungkin jangan sampai menunggu sampai parah” kata drg. Zaura.
drg. Zaura menghimbau masyarakat agar tidak sembarangan mencari pengobatan gigi. Masyarakat dapat berobat ke tempat yang diakui yakni Puskesmas, RS dan RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) yang ada di setiap fakultas kesehatan gigi dan mulut (FKG) yang dapat dipertanggungjawabkan mutunya.
Kompetensi tukang gigi sama sekali di luar konteks. PDGI tidak melihat tukang gigi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan gigi di Indonesia. Tetapi, tukang gigi adalah pelayanan yang bersifat tumbuh dari warisan zaman dulu yang mungkin dibawa dari negara China.
Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 yang mengatur perizinan praktik tukang gigi, tidak boleh diwariskan dan peraturan tahun 1989 hanya sampai usia 65 tahun. Jadi, sebetulnya pekerjaan tukang gigi yang secara alamiah dengan sendirinya akan habis. Orang-orang yang ingin berprofesi sebagai tukang gigi dapat dipekerjakan sebagai teknisi gigi yang bekerja di laboratorium dokter gigi yang tugasnya membantu dokter gigi dalam hal pembuatan gigi tiruan dan lainnya, tegas Zaura.
Zaura menambahkan, bagi para tukang gigi yang secara hukum masih dibenarkan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan perizinannya, pihak Kemenkes diharapkan melakukan pengawasan sehingga apa yang diberikan kepada masyarakat tidak merugikan.
Menurut Zaura, PDGI memandang Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989 sebagai aspek perlindungan masyarakat terhadap pelayanan kedokteran gigi yang dibawah standar. Dengan demikian diharapkan pelayanan kesehatan gigi di Indonesia dilakukan secara benar melalui kaidah-kaidah kebenaran ilmu pengetahuan secara baik dengan memperhatikan keselamatan dari pasien atau masyarakat
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620, atau alamat e-mail info@depkes.go.id dan kontak@depkes.go.id
Sumber: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1865-tukang-gigi-bukan-pelayanan-dasar-kesehatan-gigi-di-indonesia-.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar