Jakarta, 17 Maret 2012
Guna melindungi masyarakat dari pelayanan kedokteran yang tidak sesuai dengan standard, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Permenkes sebelumnya No.339/MENKES/PER/V/1989 yang mengatur kewenangan, larangan serta perizinan tukang gigi. Permenkes No.1871/MENKES/PER/IX/2011 mengatur para tukang gigi yang terdaftar dan memiliki izin sejak 1953. Kemenkes tidak menerbitkan izin baru sejak tahun 1969, serta pembaharuan izin hanya dapat diperpanjang hingga yang bersangkutan berusia 65 tahun. Dengan demikian, sebetulnya pekerjaan tukang gigi secara alamiah sudah sepuh, tidak bisa lagi melakukan hal tersebut.
Demikian keterangan Direktur Bina Upaya
Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, dr.Dedi Kuswenda, M.Kes terkait
berita seputar tukang gigi, di Jakarta (17/3).
Dijelaskan, pendaftaran dan perizinan praktik tukang gigi diatur pada Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969, karena pada masa itu, jumlah dokter gigi dan penyebarannya belum banyak. Namun, upaya penertiban dan pengawasan tukang gigi mulai dilakukan seiring
terbitnya Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989, 23 tahun lalu. Permenkes
ini mengatur kewenangan, larangan dan perizinan tukang gigi.
Dalam Permenkes tersebut diantaranya dinyatakan bahwa kewenangan tukang gigi adalah untuk membuat dan memasang sebagian atau penuh gigi tiruan lepasan dari akrilik. Permenkes melarang tukang gigi melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun; pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota tumpatan tuang dan sejenisnya; menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan tambalan gigi baik sementara ataupun tetap; melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan; melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obat-obatan.
Terkait perizinan, Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989 mengatur tukang gigi yang telah teregistrasi dan memiliki izin wajib melakukan pembaharuan izin untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali hingga usia 65 tahun. Disebutkan pula, Kementerian Kesehatan tidak menerbitkan izin baru bagi tukang gigi selain bagi tukang gigi yang telah mendapatkan izin berdasarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969.
“Jadi, Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tahun 2011 hanya mengatur
para tukang gigi yang terdaftar dan telah mendapatkan izin Kementerian Kesehatan sesuai Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 dimana izin tersebut sudah diatur kembali dalam Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989”, jelas dr. Dedi.
Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 juga menyatakan, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas harus membina Tukang Gigi dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat. Di tingkat Puskesmas, pembinaan dilakukan dalam bentuk penjaringan/pendataan disertai pemberian formulir pendataan kepada
tukang gigi yang berpraktik di wilayahnya. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, melakukan pembinaan yang diarahkan untuk kerjasama dengan profesi teknisi gigi yang telah teregistrasi Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan MajelisTenaga Kesehatan Provinsi (MTKP).
Dr. Dedi menyatakan, praktik jasa pelayanan tukang gigi yang menyebut diri sebagai ahli gigi, kian menjamur dan semakin dicari masyarakat. Dengan alasan mencari pelayanan dengan harga murah, masyarakat seolah tidak peduli dengan keselamatan dirinya. Para tukang gigi yang tidak memiliki izin praktik ini melakukan praktik mandiri melebihi kewenangannya dan melakukan tindakan-tindakan spesialistik, seperti tindakan pencabutan, penambalan gigi, perawatan ortodonti (behel) dan pembuatan mahkota
akrilik atau porselen.
Menurut dr. Dedi, Kemenkes akan secepatnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui daerah, tinggal implementasinya di daerah, karena itu berhubungan dengan otonomi daerah.
“Nanti akan ada pola kemitraan seperti dukun-bidan, Itu yang kita
harapkan”, tandas dr. Dedi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faksimili 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620, atau alamat e-mail info@depkes.go.id, kontak@depkes.go.id.
Dijelaskan, pendaftaran dan perizinan praktik tukang gigi diatur pada Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969, karena pada masa itu, jumlah dokter gigi dan penyebarannya belum banyak. Namun, upaya penertiban dan pengawasan tukang gigi mulai dilakukan seiring
terbitnya Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989, 23 tahun lalu. Permenkes
ini mengatur kewenangan, larangan dan perizinan tukang gigi.
Dalam Permenkes tersebut diantaranya dinyatakan bahwa kewenangan tukang gigi adalah untuk membuat dan memasang sebagian atau penuh gigi tiruan lepasan dari akrilik. Permenkes melarang tukang gigi melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun; pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota tumpatan tuang dan sejenisnya; menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan tambalan gigi baik sementara ataupun tetap; melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan; melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obat-obatan.
Terkait perizinan, Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989 mengatur tukang gigi yang telah teregistrasi dan memiliki izin wajib melakukan pembaharuan izin untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali hingga usia 65 tahun. Disebutkan pula, Kementerian Kesehatan tidak menerbitkan izin baru bagi tukang gigi selain bagi tukang gigi yang telah mendapatkan izin berdasarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969.
“Jadi, Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tahun 2011 hanya mengatur
para tukang gigi yang terdaftar dan telah mendapatkan izin Kementerian Kesehatan sesuai Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969 dimana izin tersebut sudah diatur kembali dalam Permenkes No. 339/MENKES/PER/V/1989”, jelas dr. Dedi.
Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 juga menyatakan, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas harus membina Tukang Gigi dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat. Di tingkat Puskesmas, pembinaan dilakukan dalam bentuk penjaringan/pendataan disertai pemberian formulir pendataan kepada
tukang gigi yang berpraktik di wilayahnya. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, melakukan pembinaan yang diarahkan untuk kerjasama dengan profesi teknisi gigi yang telah teregistrasi Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan MajelisTenaga Kesehatan Provinsi (MTKP).
Dr. Dedi menyatakan, praktik jasa pelayanan tukang gigi yang menyebut diri sebagai ahli gigi, kian menjamur dan semakin dicari masyarakat. Dengan alasan mencari pelayanan dengan harga murah, masyarakat seolah tidak peduli dengan keselamatan dirinya. Para tukang gigi yang tidak memiliki izin praktik ini melakukan praktik mandiri melebihi kewenangannya dan melakukan tindakan-tindakan spesialistik, seperti tindakan pencabutan, penambalan gigi, perawatan ortodonti (behel) dan pembuatan mahkota
akrilik atau porselen.
Menurut dr. Dedi, Kemenkes akan secepatnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui daerah, tinggal implementasinya di daerah, karena itu berhubungan dengan otonomi daerah.
“Nanti akan ada pola kemitraan seperti dukun-bidan, Itu yang kita
harapkan”, tandas dr. Dedi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faksimili 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620, atau alamat e-mail info@depkes.go.id, kontak@depkes.go.id.
Sumber : http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1866-kemenkes-tidak-terbitkan-izin-praktik-baru-bagi-tukang-gigi-sejak-23-tahun-lalu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar